Tuesday, July 20, 2010

My First Going Up to Distrik Yembun, Tambrauw...Part 2

Hari itu saya bangun cukup cepat setelah tidur di kegelapan yang membuat saya lebih nyenyak, ato mungkin memang hari sebelumnya sungguh melelahkan. Hari ini adalah jumat, tanggal 18 juni 2010, rencananya siang ini setelah solat jumat saya akan melanjutkan perjalanan menuju distrik yembun, tempat penugasan PTT-ku.

Pagi di mega udara terasa sejuk, desiran air laut terdengar tiada henti, dan anak-anak serta remaja sudah memulai aktivitasnya untuk bermain, mandi, menaiki perahu dengan dayungnya untuk memancing. Sambil ngobrol dengan jefry dan dikelilingi anak-anak kecil yang berlarian, saya duduk di sebuah batang pohon di pinggir laut sambil menikmati suasana kampung pesisir pantai ini.

Di Mega, terdapat beberapa sumur mata air, dan rata-rata penduduk juga telah membuat MCK masing-masing di luar rumahnya, sehingga pagi itu saya bisa mandi dengan nyaman. Setelah mandi, saya sempatkan bermain dengan anak-anak sekitar dan berfoto-foto bersama mereka hingga waktu solat jumat pun tiba.
Setelah solat jumat, rencana kami akan pergi ke yembun yang berjarak sekitar 38 KM masuk ke gunung dari Mega dengan menumpang truck logging perusahaan di sana. Namun ternyata ada keadaan tidak semulus yang sudah kami rencanakan.

Di Mega sudah cukup banyak muslim, karena daerah ini banyak pendatang, kegiatan perdagangan pun terjadi disini, banyak warung yang menjual kebutuhan sehari-hari dan bensin/minyak seharga Rp.10.000/lt. Setelah solat jumat, saya dan kak Ardhie (perawat di puskesmas Mega) sedang berjalan pulang menuju rumah dinas ka ardhie tempat saya menaruh barang-barang ketika terdengar suara teriakan anak kecil di belakang. Kami berdua menengok dan berusaha memahami apa yang terjadi karena pemandangan hanya menunjukkan seorang anak yang menangis,teriak, dengan ayahnya yang tiba-tiba turun dari motor dengan sama bingungnya. Setelah si ayah menggotong anaknya, dia tersadar lalu lari menghampiri kami dan meminta tolong. Setelah saya perhatikan, ternyata jempol kaki anak ini sudah terputus sebagian
, saya dan kak ardhie langsung paham apa yang terjadi dan menyuruh bapak untuk menuju puskesmas. Saat itu banyak petugas yang sedang turun kota, maka kak ardhie meminta saya untuk menolong anak tersebut.

2 jam berlalu di dalam puskesmas yang telah dipenuhi warga, setelah hiruk pikuk dalam puskesmas dikarenakan kurangnya peralatan yang tersedia dan kurang siapnya petugas dalam mengantisipasi hal ini, namun jari kaki anak ini telah saya balut. Kondisi jempol nya sudah tidak bisa disambung, karena ini adalah Traumatic Amputation, dimana tulang, otot, saraf, pembuluh darah smua sudah terlepas seluruhnya menyisakan tulang jari yang terlihat, masalahnya adalah kulit yang terlepas melebihi tulangnya sehingga saya sulit untuk menutup dan merapihkannya kembali. Dengan menjahit situasi dan membalut, serta memberikan antibiotik yang kuat, saya menyuruh si ayah untuk membawa anaknya ke RSUD sorong, karena kebetulan si ayah juga mampu dan mau untuk membawa anaknya. Saat itu sudah hampir jam 4, dan kak yustus mulai ragu untuk berjalan ke yembun, namun saya tetap memutuskan untuk jalan dengan memperhitungkan waktu sebelum gelap kita sudah sampai.

Akhirnya kami berangkat ber-4, saya, yustus, pak andarias (bapak tua yang bersedia memikul barang obat) dan sartince (anak kepala kampung), mereka bertiga membawa masing2 karung, dan saya membawa carrier 22kg itu. Kami tidak jadi naik truck karena jalan yang bisa ditempuh truck hanya sampai km 19-an, sehingga kami harus berjalan 18-19 km dari sana. Akhirnya kami naik ojek, karena kalau motor masih bisa dipaksa untuk mencapai km 30.

Perjalanan sangat tidak kondusif, naik turun bukit yang terjal dengan membawa karier di punggung sungguh bikin pegal, karena kerap kali badan saya ditarik ke belakang saat motor menanjak. Sampai km 12 kami singgah di mess perusahaan logging untuk mengatur kembali bawaan, mulai dari sini turun hujan. Kami tetap melaju karena tidak mungin ditunda, perjalanan ke yembun sangat tidak dianjurkan kalau gelap. Maka kami lanjut ber-4 naik motor dengan barang bawaan masing-masing hujan-hujanan. Jalan menjadi licin, dan motor saya berkali-kali terpeleset. Untungnya tukang ojek disini sudah mahir dan hafal medan sehingga saya berusaha untuk lebih tenang dan tidak panik (sebelah kanan saya jurang-jurang terjal). Untuk ke yembun kami harus melewati 2 punggungan gunung, dan menyeberarngi sungai yang jembatannya telah longsor, tapi motor-motor ini tetap menerjangnya. Dan akhirnya motor yang saya tumpangi rusak dan tidak bisa jalan lagi. saya dipindah ke motor pak andarias, dan pak andarias menunggu ada motor yang lewat.

Setelah 1,5 jam kemudian, kami sampai rumah pak ismail, disini sudah masuk distrik yembun. Rumah ini berada di kampung metbellum, hanya ada 4-5 rumah di sini. 200 meter dari titik inilah dimana motor sudah tidak bisa melaju karena jalan sudah berlumpur, tidak keras, dan hanya setapak. Untungnya pak andarias tidak sampai 30 menit sudah menyusul kami, karena kebetulan ada motor yang kembali dari rumah pak ismail menuju mega. Dari sini kami ber-4 berjalan kaki masuk ke pedalaman hutan yembun. Perjalanan menghabiskan waktu sekitar 100 menit jalan cepat, karena saat itu sudah pukul 5 sore, headlamp sudah siap di kantong tas.

Sepanjang jalan bunyi burung tidak pernah berhenti, dan juga binatang-binatang lainnya. Untung saya memakai sepatu trekking dilapisi dengan gaiter, sehingga aman dari lintah yang banyak sekali di jalan becek basah seperti itu. Saat itu hujan mulai gerimis, tapi tidak berhenti, jadi sepanjang perjalanan saya diguyur hujan. Beberapa kali saya melihat tatapan kepala puskesmas ini seolah menunjukkan rasa tidak enak, karena telah membawa dokter kota ini masuk ke pedalaman seperti ini, tapi saya yakinkan dia bahwa tidak apa-apa, dan saya tidak keberatan sama sekali.

Saya berusaha tidak memikirkan ketidakenakannya sepanjang jalan, tapi mulai menikmatinya, ditengah guyuran rintik hujan, sambil mendengarkan suara-suara burung dan hewan hutan lainnya, juga memandangi pohon-pohon raksasa dikanan-kiri saya, kepakan burung-burung yang terbang melintas, saya hanya tersenyum sambil kadang merasa tidak percara, bahwa saat ini saya sedang berada di wilayah yang ribuan kilometer jauhnya dari asal saya tinggal, di dataran paling timur indonesia ini, daerah utara yang berbatasan langsung dengan samudera pasifik, dan saya sedang menginjak-injak hutannya menuju daerah pedalaman yang bahkan banyak orang asli papua di kota atau kabupaten yang tidak tahu bahkan belum pernah menginjakkan kakinya di distrik tersebut. Pikiran saya mulai bekerja membayangkan seperti apa kampung tersebut, dan bagaimana dulu awalnya orang-orang tersebut bisa sampai ke sana, hehe..

Jalanan mulai rata dan mengeras, tanah semakin sedikit padat, dan saya melihat bangunan dari kayu berdesign panggung yang cukup besar. Kata ka yustus, itulah calon kantor pemerintahan distrik ini, saat ini masih kosong dan ditumbuhi semak belukar, karena memang belum ada orang pemerintahan yang menempatinya. Tidak jauh kami mencapai rumah tinggal pak distrik, blm jadi, namun lantai 2 sudah bisa ditempati. Disana berdiri pak Nicholas Yekwan menunggu kedatangan kami, sambil menatap saya dan berjabat tangan, beliau memperkenalkan dirinya. Pak Andarias dan Sartince sudah duluan menuju rumah tinggal mereka masing-masing, sedangkan saya dan kak yustus diantar oleh pak yekwan menuju rumah yang akan kami tinggali nanti.

Daerah yembun ini, merupakan kampung metnayam dan metbessa, tempat terdapat puskesmas dan sd sisa peninggalan sejak masih merupakan distrik Moraid, Kab.Sorong. Saya dibawa menuju rumah panggung dari kayu, beratapkan asbes, yang tampaknya kosong sudah bbrp tahun. Dalamnya kosong melompong dengan atap yang bolong di beberapa tempat. Menurut pak yustus, rumah ini sebenarnya rumah untuk tinggal pengajar-pengajar sekolah, namun sudah tidak ditempati lagi, jadi untuk bbrp hari ini, akan di pakai kita tinggal. Setelah meletakkan carrier, mengambil alat mandi, saya, ka yustus, pak andarias yang datang kembali, serta salah satu warga yang menemani kami ke sungai untuk mandi. Sungai ini lah sumber kehidupan warga sini, sebagai tempat unutk mencuci, mandi, sumber air minum, dan juga bermain. Saat itu sudah pukul 18.30 WIT. Dengan bergelap-gelapan, kami betiga ditemani satu warga ngobrol sejenak di pinggir sungai sambil makan snack yang saya bawa (kami bertiga belum makan siang sejak dari Mega tadi), dan kemudian byurrr..nyebur..segarnya..airnya jernih dan mengalir. sambil menikmati langit, diiringi suara jangkrik, tonggerek, dan binatang khas hutan lainnya saya membersihkan badan saya yang kotor dengan tanah dan keringat itu. Sekitar jam 19.30 kami kembali ke rumah dengan modal senter, disini sangat gelap gulita, karena bulan masih bersembunyi di balik awan mendung.
Keadaan masih belum bisa dibilang tenang, karena setelah membersihkan badan, kami juga harus membersihkan rumah, hehe..karena ini rumah kosong. Beberapa warga sudah membersihkan sebisa mereka saat kami mandi, namun tetap saja saya mesti menyapu kembali, menggelar tikar, memasang kelambu, membuat jemuran sebisanya, dan mencari tali-tali di hutan untuk mengikat. Setelah 1 jam berlalu, kami masing-masing telah merapikan kamar kami,  sehingga bisa cukup layak untuk ditiduri malam ini. setidaknya segini dulu, untuk lebih baiknya besok saat sudah terang (pikirku..)
Rumah itu ada dua ruangan kosong, yang saya jadikan kamar tidur saya, dan kak yustus, di luar ruangan ada ruangan yang kami jadikan tempat masak sementara malam itu. Setelah menggelar matras-ku, menyiapkan trangia, membuka indomie, dan beberapa perbekalan yang kami sudah bawa, kami berdua masak untuk makan seadanya, sambil bercerita-cerita tentang kejadian hari ini. Sambil membahas rencana besok bagaimana. Tidak terasa waktu sudah lewat jam 23.00, dan kami mulai beranjak ke kamar masing-masing untuk tidur, dengan menaruh posisi lilin dengan aman.
So..inilah yembun..pikirku..besok pagi saya akan jalan-jalan untuk melihat kondisi kampung lebih jelas lagi. Sejak kepergian kamis pagi dari kota sorong, baru magrib hari jumat saya sampai di tempat ini =)

Biaya perjalanan:
Ojek : Rp.100.000 X 4 orang = Rp.400.000

Resume Perjalanan dari Kota - Yembun / Orang : rata-rata waktu
Taksi sorong-makbon sebelum jalan putus : Rp.10.000 (30-40 menit)
Taksi sorong-makbon setelah jalan putus : Rp. 10.000 (80-90 menit)
Longboat makbon-mega : Rp. 100.000 ( 105-120 menit)
Ojek mega-yembun(metbellum) : Rp. 100.000 (90-110 menit)
Jalan kaki metbellum-metnayam : Rp. Nol Rupiah (haha) (110-130 menit)

Total biaya : Rp. 220.000
Total waktu : 415 - 490 menit / 7-8 jam + 2-4 jam spare time untuk menunggu angkot ngetem, jalan putus, longboat tiba, dan ojek tersedia. Kendaraan rutin angkot sorong-makbon sampai malam, longboat makbon-mega smpai jam 16.00, ojek mega-yembun sampai 16.00 kecuali kalo rombongan, tukang ojek mau jalan malam.

Jalur balik dari yembun ke mega, ojek harus dikabari sebelumnya, karena mereka tidak ngetem di metbellum, jika dari yembun berjalan kaki tanpa memberitahu berita ke ojek di mega, maka ada kemungkinaan akan berjalan kaki dari yembun ke mega (38-39 km), it takes 2 days walk..beruntung kalo di jalan berpapasan dengan motor atau orang dengan kendaraan, kita bisa numpang, atau titip pesan agar ojek dari mega datang menjemput. Disini tidak ada sinyal seluler sehingga komunikasi hanya sebatas mulut ke mulut seperti itu.

No comments:

Post a Comment